Dalam kasus perundingan RI-GAM di Helsinki membuat masing-masing pihak melunak akibat adanya bencana gempa dan tsunami di Aceh. Proses perjanjian damai dilaksanakan pada tanggal 15 Agustus dua hari menjelang hari kemerdekaan RI yang kemudian disebut dengan istilah gold period atau momentum emas. Dengan adanya Nota Kesepahaman tersebut menjadi entry poin untuk mencapai Aceh yang aman, damai, adil, makmur, dan sejahtera dengan melaksanakan butir-butir Kesepakatan tersebut dengan baik dan benar bagi pihak yang saling bertikai.
Kebutuhan GAM dalam berintegrasi dipertanyakan karena antara mantan anggota GAM dan masyarakat umum masih terdapat perselisihan. Tiap orang pasti membutuhkan pekerjaan dan keahlian baru seperti halnya GAM yang kembali membutuhkan tempat tinggal, tanah, dan akses kesehatan. Masyarakat juga perlu mendapatkan bantuan dan memperoleh hak-hak mereka yang hilang semenjak konflik berkecambuk. Masih muncul kendala di bidang penyaluran dana reintegrasi kepada eks kombatan GAM.
Misalnya pemerintah menghendaki dana diterima langsung oleh eks kombatan GAM secara pribadi, tetapi cara ini ditolak oleh GAM. Kemudian pemerintah muali melunak dengan cara pemerintah daerah menyerahkan dana reintegrasi dengan besaran jumlah dana ditetapkan berdasar jumlah eks kombatan GAM sebesar Rp 1 juta per anggotanya dalam pertemuan CoSa tanggal 21 Oktober 2005.
TUJUAN DPR
Tujuan DPR hanya akan terbatas pada “mengeluarkan elemen- elemen yang memiliki potensi berbahaya dari masyarakat”. Sengat penting untuk mencapai keseimbangan antara tujuan keamanan dan sosial- ekonomi yang dikaitkan dengan konteks sosial, politik, dan ekonomi Aceh yang spesifik. Ditegaskan bahwa tujuan utama DPR memastikan militer, lembaga kemanusiaan, serta para donor akan memberi kontribusinya untuk tujuan yang sama.
HAMBATAN DI BIDANG EKONOMI
Hambatan ekonomi terjadi di bidang formal maupun informal. Konflik bersenjata menghancurkan tempat kerja, memperlemah pasar kerja, mengurangi produktifitas lahan, merusak infrastruktur fisik-sosial-ekonomi yang akhirnya menghambat kesempatan kerja dan pendapatan. Harusnya ada program yang menjadikan mantan gerilyawan dan penduduk yang terkena dampak perang sebagai proyek yang mendukung proses rekonsiliasi dan reintegrasi.
Dipahami bahwa reintegrasi ekonomi dan mencari pekerjaan adalah salah satu tantangan utama dan juga factor penentu keberhasilan DPR. Tantangan yang paling kompleks adalah bahwa komponen reintegrasi dalam program-program DPR harus dikaitkan dengan proses pemulihan dan rekonstruksi sosial-ekonomi yang lebih luas untuk tujuan pembangunan.
HAMBATAN DI BIDANG POLITIK, HUKUM, DAN KEAMANAN
Program DPR biasanya dijalankan dalam konteks keamanan yang menegangkan. Fokusnya semata-mata pada mantan gerilyawan yang dapat menimbulkan frustasi dikalangan mantan anggota GAM. Harusnya sama-sama diawasi antara gerilyawan dan penduduk biasa agar saling percaya dan menungkatkan toleransi.
HAMBATAN DI BIDANG SOS-BUD
Reintegrasi adalah proses dimana mantan gerilyawan memasuki kehidupan sipil dan bergabung kembali dengan masyarakat sipil melalui komunitas mereka. Oleh karena itu penting untuk memahami apa yang ingin dicapai para gerilyawan dalam kehidupan mereka diluar dari keiginan untuk segera memperoleh penghidupan. BRDA sebagai salah satu actor kunci harus mampu membuat langkah-langkah strategis untuk mengatasi konflik yang terjadi di Aceh.
KESIMPULAN
Kesimpulannya, BRDA ternyata kurang optimal dilihat dari: Pertama, tidak dapat mendorong pemerintah pusat untuk menjelaskan bahwa BRDA sudah diberi mandat oleh pemerintah untuk mereintegrasi di Aceh dalam pembentukan hukum BRDA itu sendiri . Kedua, BRDA harus memiliki hak untuk mengelola anggaran sendiri. Parahnya lagi anggaran yang diajukan tidak masuk kedalam pos anggaran khusus untuk BRDA. Ketiga, tidak mampu segera menyelesaikan cetak-biru (alat justifikasi) perdamaian dan pembangunan di Aceh yang berperan secara signifikan memberi petunjuk dalam proses perdamaian.
Saran agar rekonsoliditasi di Aceh dapat terwujud :
§ Perlu mengadakan pertemuan rakyat Aceh yang melibatkan semua komponen agar persoalan dapat cepat diatasi.
§ Menghindari adanya diskriminasi dalam pembangunan Aceh antara pihak yang bertikai.
§ Menghilangkan karakteristik negative seperti sombong, sirik, dan pikiran jelek bahwa lawan politik itu musuh yang menghambat pembangunan.
Kemudian kasus diatas akan saya coba analisis dengan teori konflik milik Collins dimana menurut Collins gambaran sentral organisasi masyarakat adalah stratifikasi, jenis, dan tingkat ketimpangan sosial diantara kelompok-kelompok dan individu, dominasi antara satu dengan yang lain. Dalam konflik Aceh terdapat ketimpangan antara kelompok yang satu dengan yang lain yang mengakibatkan satu kubu ingin mendapat kemerdekaan dalam hal apapun.
Yang kedua sebab yang mendasari konflik dalam kelompok dan individu berkaitan dengan upaya mempertahankan kepentingan posisi atau dominasi kelompok atau individu lain. Konflik Aceh sebenarnya tidak membawa serta semua penduduk yang ada di Aceh, hanya karena pengaruh dari doktrin- doktrin khusus yang membuat semakin banyak masyarakat yang masuk menjadi anggota GAM dan membela kelompoknya saat kelompoknya dijelek-jelekkan atau dianggap menyalahi aturan pemerintah. Hal ini muncul karena adanya rasa senasib dan sepenanggungan. Sehingga mereka saling membela kelompoknya untuk mempertahankan keutuhan anggotanya
Yang ketiga bahwa siapa memenangkan apa dalam pergolakan yang terjadi tergantung pada sumber kehidupan yang dikuasainya oleh masing-masing golongan, termasuk sumber material untuk kekerasan dan untuk pertukaran ekonomi juga sumber untuk organisasi sosial serta untuk pengolahan emosi serta gagasan. Dalam konflik ini, GAM berusaha sekuat mungkin untuk memenangkan pertikaian karena ingin merdeka dan mendirikan Negara sendiri serta menguasai seluruh sumber daya yang ada di Aceh.
Tapi dengan adanya konflik tersebut timbullah perubahan sosial dimana masyarakat biasa menjadi tinggi rasa persatuan dan kesatuannya. Nasionalisme yang mereka punya menjadi meningkat, mereka menjadi membela Negaranya secara mati-matian demi menjaga keutuhan Aceh supaya tidak ada lagi GAM.
Semakin besar derajat keterlibatan emosional dari kelompok-kelompok dalam suatu konflik semakin besar pula kemungkinan konflik menjadi bersifat keras. Semakin tinggi tingkat solidaritas dan semakin tinggi tingkat keharmonisan diantara sesama anggota kelompok yang terlibat konflik, semakin besar tingkat keterlibatan tingkat emosional mereka (George Simmel). Sebenarnya konflik yang terjadi di Aceh berkaitan dengan kepentingan dan tujuan pribadi individu atau kelompok yang ingin berkuasa dan menguasai Aceh.
Konflik mereda pasca gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh. Kedua kubu antara GAM dan Pemerintah melunak dan sepakat untuk mengakhiri ketegangan yang telah terjadi selama ini dalam kasus perundingan RI-GAM di Helsinki. Menurut Lewis Coser konflik dapat :
a) Membantu mengeratkan ikatan antara masyarakat Aceh yang satu dengan yang lain,
b) Mengaktifkan peran individu yang semula terisolasi dimana individu yang semula tidak berani bergerak atau mengeluarkan apa yang ada difikirannya menjadi sedikit lebih berani untuk berbicara dan mengeluarkan pendapatnya,
c) Membantu fungsi komunikasi sehingga tidak ada salah paham lagi saat sedang membicarakan sesuatu hal apapun yang sering kita sebut dengan istilah miss communication,
d) Meningkatkan solidaritas rakyat Aceh yang mungkin dulunya bersifat arogan menjadi ramah antar sesamanya baik masyarakat biasa maupun mantan anggota GAM dimana masing-masing individu semakin meningkat rasa nasionalismenya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia .
Walau begitu konflik tetap saja menimbulkan difungsi (timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan). Konflik bersenjata menghancurkan tempat kerja, memperlemah pasar kerja, mengurangi produktifitas lahan, merusak infrastruktur fisik-sosial-ekonomi yang akhirnya menghambat kesempatan kerja dan pendapatan di wilayah Aceh. Aceh harus segera bangkit dari keterpurukan, dan mengembalikan citra positifnya dimata masyarakat Indonesia dan seluruh dunia.
0 komentar:
Posting Komentar