PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, budaya, bahasa, dan agama. Keberagaman suku bangsa, budaya, bahasa, budaya, dan agama pada dasarnya justru memperkaya khasanah budaya bangsa. Salah satu wujud budaya bangsa Indonesia adalah budaya spiritual yang berakar pada kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang pada dasarnya merupakan warisan leluhur budaya bangsa. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai slah satu aspek warisan budaya bangsa (spiritual) secara realistis masih hidup dan berkembang serta dihayati oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Kepercayaan masyarakat yang hidup dan berkembang disetiap suku, etnis, desa merupakan kebudayaan lokal yang dapat memberikan dan mencerminkan ciri bagi daerah setempat. Kepercayaan masyarakat dengan unsur yang melekat didalamnya terkandung nilai peradaban manusia, dapat menjadi pendukung upaya pembentukan kepribadian dan jati diri bangsa. Sebagai salah satu unsure kebudayaan lokal, kepercayaan masyarakat dapat menjadi perekat bagi terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Salah satu suku yang terdapat di Indonesia adalah suku Jawa. Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang paling banyak tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Namun, meskipun demikian tetap mempertahankan budaya dan tradisi Jawa sebagai identitasnya. Orang Jawa dibedakan dari kelompok- kelompok etnis lain di Indonesia oleh latar belakang sejarah yang berbeda, oleh bahasa dan kebudayaannya (Suseno, 2001 : 12).
Berangkat dari keyakinan, maka orang memeluk agama. Kadangkala orang menjadi sangat fanatic terhadap agama atau kepercayaan yang dianutnya, bahkan dengan sukarela berkorban untuk agama yang mereka anut. Bukan hanya harta, kadagkala nyawapun menjadi taruhannya. Begitu juga dengan anggota Komunitas Maneges Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai Penganut Kejawen di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal.
Menurut saya hal ini sangat aneh dan membuat hati setiap orang menjadi bimbang apabila timbul berbagai aliran kepercayaan seperti aliran kejawen. Tidak diberi wadah yang cukup memadai, tumbuh berkembang dimana- mana ibarat benih yang ditabur diberbagai tempat, serta tumbunya rerumputan liar yang kiranya tumbuh dan berkembangnya tidak dapat dipantau dan diatur secara jelas dan rapi. Sebetulnya mungkin juga bukan belum disediakan tempat yang cocok bagi berbagai aliran kepercayaan tersebut, tetapi mungkin karena yang harus ditempatkan terlalu banyak maka tempat yang disediakan tidak cukup atau yang membuat tempat kurang ahli, sehingga tampaknya agak semrawut (Bintoro, 2002)
Himpunan Penganut Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan tempat bagi para penganut kepercayaan yang ada di Indonesia. Pada 1973 MPR menetapkan kepercayaan (terhadap Tuhan Yang Maha Esa) diakui oleh Negara disamping agama. Perhatian kepada kepercayaan semakin besar diakui di negeri ini ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 1978 menetapkan pembentukan Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dibawah Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikn dan Kebudayaan. Salah satu penganut penganut kepercayaan yang ada di Indonesia adalah Himpunan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kecamatan Slawi masih sangat menjaga nilai- nilai budaya Jawa.
Himpunan ini merupakan wadah bagi para penganut Kejawen yang ada di Desa Trayeman. Penganut kejawen yang ada di Kecamatan Slawi (walaupun tidak semuanya) selalu mengamalkan filsafah- filsafah jawa dalam kehidupn mereka sehari- hari dalam kehidupan bermasyarakat mereka pula. Seperti tepa selira yaitu adanya sifat tenggang rasa atau toleransi dan saling menghargai terhadap tetangga atau masyarakat disekitar mereka sehingga ada rasa saling menjaga perasaan masing- masing dalam perbedaan keyakinan yang mereka anut. Banyak perbedaan antara ajaran yang dianut oleh pemeluk Islam dan Kejawen didaerah yang saya amati. Salah satunya adalah bagi agama Islam, berkerudung merupakan kewajiban. Tapi bagi penganut kepercayaan Kejawen hal itu tidaklah wajib. Kemudian saat mereka beribadah pun tidak harus diwajibkan di masjid atau di moshola, tetapi ada tata cara tersendiri yang akhirnya sebagian dari mereka ada yang disebut sebagai Islam Kejawen.
Masyarakat jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan karena sebelum semuanya ada dan terjadi di dunia ini, Tuhanlah yang pertama kali ada di dunia ini. Tuhan tidak hanya menciptakan alam semesta beserta isinya tetapi juga bertindak sebagai pengatur, karena segala sesuatunya atas kehendakNya. Masyarakat Jawa percaya bahwa urusan usia, jodoh, dan rizki itu semuanya ada ditangan Tuhan. Maksud dari hal ini adalah mereka menganggap bahwa pokok kehidupan dan status dirinya sudah ditetapkan sejak Ia lahir, nasibnya sudah ditentukan sebelumnya saat Ian masih berada dalam kandungan, jadi mereka herus sabar dalam menanggung kesulitan yang ada dalam kehidupannya.
Kepercayaan Kejawen dapat diungkapkan dengan baik oleh mereka yang mengerti dan memahami tentang rahasia- rahasia kebudayaan Jawa, dan bahwa Kejawen ini seringkali diwakili oleh golongan elite priyayi lama dan keturunannya. Kesadaran akan budaya ini seringkali menjadi kebanggan tersendiri sebagai identitas cultural. Orang- orang inilah yang memelihara warisan budaya Jawa secara mendalam yang dapat dianggap sebagai Penganut Kepercayaan Kejawen.
Dari penjelasan diatas penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana kondisi keberadaan masyarakat Kejawen dan mengetahui bagaimana pandangan- pandangan penganut Kejawen yang terdapat di Himpunan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kecamatan Slawi , Kabupaten Tegal mengenai ajaran- ajaran Kejawen.
2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dipelajari adalah mengenai Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kecamatan Slawi , Kabupaten Tegal sebagai penganut Kejawen. Permasalahan tersebut dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan, yaiti sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi keberadaan masyarakat Kejawen di Kecamatan Slawi , Kabupaten Tegal?
2. Bagaimana pandangan Penganut kepercayaan Kejawen di Kecamatan Slawi , Kabupaten Tegal terhadap ajaran Kejawen yang dianutnya?
3. Bagaimana bentuk- bentuk praktek keagamaan yang dilakukan oleh Penganut kepercayaan Kejawen di Kecamatan Slawi , Kabupaten Tegal sebagai penghayat Kejawen?
3. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui kondisi keberadaan masyarakat Kejawen di Kecamatan Slawi , Kabupaten Tegal.
2. Mengetahui pandangan Penganut kepercayaan Kejawen di Kecamatan Slawi , Kabupaten Tegal terhadap ajaran Kejawen yang dianutnya.
3. Mengetahui bentuk- bentuk praktek keagamaan yang dilakukan oleh Penganut kepercayaan Kejawen di Kecamatan Slawi , Kabupaten Tegal sebagai penghayat Kejawen.
4. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini dapat berupa manfaat teoritis dan manfaat praktis, berikut penjelasannya :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi bagi penelitian- penelitian berikutnya serta menambah pustaka ilmu pengetahuan bagi masyarakat dalam kajian religi masyarakat Jawa.
2. Manfaat Praktis
Manfaat secara praktisnya ialah diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi dan bahan pertimbangan bagi pengambilan kebijakan sehubungan dengan Kejawen masih tetap mempertahankan kebudayaannya.
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
1. TINJAUAN PUSTAKA
a. Sistem Religi sebagai Wujud Kebudayaan
Sistem religi atau sistem kepercayaan merupakan salah satu unsur dalam kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universal. Istilah cultural universal menunjukan bahwa unsur- unsur tersebut bersifat universal atau luas yang artinya dapat dijumpai pada setiap kebudayaan dimanapun di dunia ini ( Koentjoroningrat 1990 : 203 ). Terdapat tujuh unsur kebudayaan, yaitu :
1. Bahasa
2. Sistem Pengetahuan
3. Organisasi Sosial
4. Sistem peralatan hidup dan tekhnologi
5. Sistem pencaharian hidup
6. Sistem Religi
7. Kesenian
Sistem religi merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan di dunia. E.B Taylor mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu kompleksitas yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan- kemampuan serta kebiasaan- kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat (Soekanto 1987: 154). Sedangkan menurut Koentjoroningrat kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus didapat dari proses belajar beserta keseluruhan hasil budi dan karyanya (Koentjoroningrat 1974:19).
Agama atau religi yang dianut suatu masyarakat merupakan wujud dari kebudayaan. Dalam wujud ide, sistem religi mempunyai wujudnya sebagai sistem keyakinan, dan gagasan tentang Tuhan, dewa, roh, neraka, surga, dan sebagainya. Dalam aktifitas, wujudnya berupa upacara. Selain itu setiap sistem religi juga mempunyai wujud berupa benda suci dan bersifat religius.
Koentjoroningrat (2002:201-202) mengemukakan bahwa religi terbagi kedalam lima unsur yang terdiri dari :
1. Emosi keagamaan merupakan suatu getaran yang menggerakan jiwa manusia. Emosi keagamaan yang mendasari setiap perilaku yang menyebabkan religi itu menyebabkan timbulnya sifat keramat dari perilaku tersebut dan sifat itu pada gilirannya memperoleh nilai keramat.
2. Sistem kepercayaan, keyakinan, atau bayang- bayang manusia tentang bentuk dunia, alam gaib, hidup, dam kematian (maut).
3. Sistem ritual dan upacara keagaam yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib berdasarkan kepercayaan sistem kepercayaan tersebut.
4. Kelompok keagamaan atau kesatuan sosial yang mengkonsepsikan dan mengaktifkan religi berikut sistem upacara keagamaannya.
5. Alat- alat fisik yang digunakan dalam ritual dan upacara keagamaannya.
b. Pandangan Hidup Orang Jawa
Secara antropologi budaya dapat dikatakan bahwa yang disebut suku jawa adalah orang yang secara turun menurun menggunakan bahasa jawa dengan ragam dialek dalam kehidupannya sehari- hari (Satoto 2005: 37). Masyarakat jawa yang dimaksud disini adalah masyarakat yang beretnis jawa yang masih mempunyai komitmen terhadap kebudayaan jawa apakah tinggal di pulau jawa atau tinggal didaerah luar pulau jawa (Damami 2002:12).
Walaupun istilah Kejawen identik dengan pandangan hidup orang jawa. Tapi bukan berarti bahwa setiap orang yang tergolong dalam etnik jawa pasti mempunyai pandangan hidup demikian, halini seperti yang dikemukakan C. Klukohn dalam Sujatmo (1992:42) mengenai batasan kebudayaan bahwa kebudayaan adalah suatu pola hidup eksplisit dan emplisit yang merupakan suatu sistem yang terbentuk oleh sejarah, yang cenderung diikuti oleh seluruh atau sebagian dari suatu kelompok.
Ciri pandangan hidup orang jawa adalah realitas yang mengarah kepada pembentukan kesatuan numinus antara alam nyata, masyarakat, dan alam adikodratiyang dianggap keramat. Orang jawa menganggap bahwa kehidupan mereka telah ada garisnya, mereka hanya menjalankan saja. Dasar kepercayaan jawa adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini pada hakikatnya adalah satu atau merupakan kesatuan hidup. Kepercayaan jawa memandang kehidupan manusia selalu terpaut erat dalam kosmos alam raya. Dengan demikian kehidupan manusia merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman- pengalaman yang religius.
Tradisi dan tindakan orang jawa selalu berpegang kepada dua hal. Pertama, kepada filsafat hidupnya yang religius dan mistis. Kedua, pada etika hidup yang menjunjung tinggi moral dan derajat hidup. Pandangan hidup yang selalu menghubungkan segala sesuatu dengan Tuhan yang serba rohaniah, mistis, dan magis, dengan menghormati nenek moyang, leluhur serta kekuatan yang tidak tampak oleh indera manusia (Satoto 2005:45). Oleh karena itu, orang jawa memakai simbol- simbol kesatuan, kekuatan, dan keluhuran. Pertama yang berhubungan dengan roh leluhur, sesajen, menyediakan bunga dan air putih, membakar kemenyan, ziarah ke makam, dan keselamatan. Kedua yang berhubungan dengan kekuatan seperti menyepi (diam di tempat sepi), memakai keris, tombak, dan jimat. Ketiga yang berhubungan dengan keluhuran seperti, laku utomo (tindakan utama, terpuji).
c. Kejawen Sebagai Religi Jawa
Ciri khas utama agama Kejawen adalah adanya perpaduan antara animisme agama Hindu dan Budha. Namun pengaruh agama Islam dan juga kristen nampak pula. Kepercayaan ini merupakan sebuah kepercayaan sinkretisme. Ciri paling utama budaya Kejawen adalah sifatnya yang religius. Orang jawa pada umumnya percaya tentang adanya Tuhan (Sujatmo 1992:47).
Salah satu sifat dari masyarakat jawa sendiri adalah bahwa mereka religius dan ber-Tuhan. Sebelum agama- agama besar datang ke Indonesia, khususnya jawa, mereka sudah mempunyai kepercayaan adanya Tuhan yang melindungi dan mengayomi mereka, dan keberagaman ini semakin berkualitas dengan masuknya agama- agama besar seperti Hindu, Budha, Islam, Katholik, dan kristen protestan ke jawa (Darori 2000:85).
Kejawen juga merupakan atau menunjuk pada sebuah etika dan sebuah gaya hidup yang diilhami oleh pemikiran jawa. Sehingga ketika sebagian mengungkapkan kejawaan mereka dalam praktik beragama Islam, misalnya seperti dalam mistisme, pada hakikatnya hal itu adalah suatu karakteristik keanekargaman religius. Meskipun demikian mereka tetap orang jawa yang membicarakan kehidupan dalam persperktif mitologi wayang, atau menafsirkan salat lima waktu sebagai pertemuan pribadi dengan Tuhan.
Pemahaman orang jawa Kejawen ditentukan oleh kepercayaan mereka pada berbagai macam roh- roh yang tidak kelihatan yang dapat menimbulkan bahaya seperti kecelakaan atau penyakit apabila mereka dibuat marah atau penganutnya tidak hati- hati. Untuk melindungi semuanya itu, orang jawa Kejawen memberi sesajen atau caos dahar yang dipercaya dapat mengelakkan kejadian- kejadian yang tidak diiginkan dan mempertahankan batin dalam keadaan tenang. Sesajen yang digunakan biasanya terdiri dari nasi dan aneka makanan lain, bunga dedaunan, serta kemenyan. Telah disepakati dikalangan sejarawan bahwa, pada jaman jawa kuno masyarakat jawa menganut kepercayaan animisme/dinamisme. Yang terjadi sebenarnya adalah masyarakat jawa saat itu telah memiliki kepercayaan akan adanya kekuatan yang bersifat tak terlihat (gaib), besar, dan menakjubkan (www.google.com).
Salah satu wujud dan sifat khas masyarakat Jawa adalah bersikap prihatin dengan mengutamakan lelaku. Mengutamakan lelaku disini bertujuan untuk menuju kepada jalan makrifat mencapai ‘Jumbuhing Kawula lan Gusti’.
Ajaran kejawen tentang thalabul ilmi atau tentang menuntut ‘ngelmu dan lelaku’ dapat kita jumpai dalam ‘Serat Wedhatama’ karangan Sri Mangkunegara IV, Pupuh II tembang pucung bait pertama yang berbunyi:
Ajaran kejawen tentang thalabul ilmi atau tentang menuntut ‘ngelmu dan lelaku’ dapat kita jumpai dalam ‘Serat Wedhatama’ karangan Sri Mangkunegara IV, Pupuh II tembang pucung bait pertama yang berbunyi:
“Ngelmu iku kelakone kanthi laku lekase lawan kas, tegase kas nyantosani satya budha pangekese dur angkara”. Yang berarti ilmu itu harus diperoleh melalui belajar, dalam belajar niatnya harus kuat dan mantap dan sabar tawakal untuk menghancurkan sifat angkara murka.
Jika ajaran diatas diterapkan dalam kehidupan nyata maka mengandung makna bahwa untuk mencapai kesuksesan dan kesejahteraan hidup, entah itu dalam hal material maupun spiritual diperlukan sebuah dasar pondasi yang kuat dan kokoh, kemudian harus memahami dasar ilmu tersebut baik secara teoritis maupun aplikatif melalui praktik (lelaku) dalam kehidupan riil. Pondasi yang kuat diatas digambarkan sebagai kekuatan jiwa yang memiliki daya hangngedab-edabi (dahsyat) sebagai wujud semangat makaryo (bekerja) untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu juga diimbangi dengan semangat pengabdian yang tulus untuk manembah artinya menjalani aktivitas ibadah keagamaan (hablum minallah), lelaku spiritual & ritual budaya.
Konsep keseimbangan tersebut juga berlaku sebagai dasar falsafah hidup orang jawa, Jika orang Jawa mengenal konsep : ‘Narimo ing Pandum’ (menerima takdir Illahi) bukan berarti dalam memenuhi kebutuhan hidup cukup dengan bermalas-malasan dan ibarat menunggu rezeki yang turun dari langit saja, artinya bahwa orang Jawa pada umumnya memiliki sikap prihatin dan etos kerja yang kuat untuk terus berusaha makaryo nggayuh kamulyaning gesang ndonya akherat.
Sikap hidup orang Jawa yang diwarisi dari leluhurnya didalam lelaku dan usahanya untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup. Sikap hidup yang demikian itu tampak dan diwujudkan sebagai sikap ‘prihatin’, yang intinya sikap hidup yang sederhana tidak berfoya-foya menghamburkan waktu & uang atau melampiaskan hawa nafsu untuk mendapatkan kenikmatan semu yang sementara saja.
Orang yang prihatin bukan berarti selalu bersedih-sedih, tidak menikmati hidup, senantiasa berpuasa, bersemedi, tetapi prihatin berarti bersikap, berpikir dan bertindak dengan penuh kesederhanaan, sesuai dengan kemampuan & kompetensi masing-masing.
Orang yang prihatin bukan berarti selalu bersedih-sedih, tidak menikmati hidup, senantiasa berpuasa, bersemedi, tetapi prihatin berarti bersikap, berpikir dan bertindak dengan penuh kesederhanaan, sesuai dengan kemampuan & kompetensi masing-masing.
Ajaran keprihatinan mengandung unsur kesederhanaan yang senantiasa terjelma dalam tatanan kehidupan tradisi, budaya dan spiritual kejawen. Dengan prinsip keprihatinan dan kesederhanaan tersebut setiap orang pasti akan dapat mencapai sesuatu yang maksimal sesuai dengan tolok ukur dan kemampuan masing-masing pribadi, tidak dengan tolok ukur orang lain terutama untuk sesuatu yang sifatnya berlebihan dibandingkan dengan kemampuan pribadinya. Sikap laku prihatin diatas sejalan dengan sikap yang selalu bersyukur dan ikhlas menerima setiap karunia Illahi.
Ajaran tentang lelaku dan ngelmu kejawen juga menunjukkan konsep kesederhanaan dalam berpikir dan berbuat, intinya sebaiknya kita tidak memimpikan menggapai bintang dilangit, tetapi hendaknya meraih saja apa yang mampu kita raih, yaitu belajar ngelmu yang bermanfaat dan mampu menjadi bekal hidup dan sarana untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan alam nantinya (www.google.com).
2. LANDASAN TEORI
Teori yang digunakan dalam mengkaji kepercayaan Kejawen di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal adalah teori fenomenologi. Fenomenologi berasal dari istilah fenomena yang mengacu pada apa yang sudah pasti dalam persepsi atau kesadaran dari individu yang sadar, dengan demikian fenomenologi terdiri atas usaha untuk menjabarkan fenomena kesadaran ( Philipsan 1972:121 dalam Hamdanah 2005:25). Sebagai metode, fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik dan subyek (manusia) serta serta kesadarannya ( Hamdanah 2005:26 ).
Ada beberapa ciri pokok fenomenologi yang dilakukan oleh peneliti fenomenologis yaitu :
a. Fenomenologis cenderung mempertentangkannya dengan “naturlisme” yaitu yang disebut objektivisme dan positivisme, yang telah berkembang sejak zaman Reanisans dalam ilmu pengetahuan modern dan tekhnologi.
b. Secara pasti, fenomenologis cenderung memastikan kondisi yang mengacu pada apa yang dinamakan oleh Husserl, yang dalam hal ini merupakan kesadaran tetntang suatu benda itu sendiri secara jelas dan berbeda dengan yang lainnya, dan mencakupi untuk sesuatu dari segi itu.
c. Fenomenologis cenderung percaya bahwa bukan hanya sesuatu benda yang ada dalam dunia alam dan budaya.
Teori fenomenologi memeriksa dan menganalisa kehidupan batiniyah individu, yaitu mengenai pengalamannya mengenai fenomena atau penampakan sebagaimana terjadi dalam apa yang disebut arus kesadaran. Lebih lanjut Jackson menjelaskan bahwa fenomenologi menentang pemujaan atas hasil penelitian ilmiah. Jadi obyektivisme dan subyektivisme harus diabaikan karena yang diutamakan adalah pengalaman sebagai jalan menuju kebenaran.
Fenomenologi kadang- kadang digunakan sebagai perspektif filosofi dan juga digunakan sebagai pendekatan dalam metodologi kualitatif. Fenomenologi memiliki riwayat yang cukup panjang dalam penelitian sosial termasuk psikologi, sosiologi, dan pekerjaan sosial. Fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada fokus kepada pengalaman- pengalaman subjektif manusia dan intrepetasi- intrepetasi dunia. Dalam hal ini, para peneliti ingin memahami bagaimana dunia muncul kepada orang lain seperti halnya bagaimana kepercayaan Kejawen muncul dihadapan masyarakat umum.
Sehingga dalam menganut kepercayaan Kejawen para penganutnya percaya sesuai dengan keadaan batin mereka. Mereka yakin dengan apa yang mereka anut. Walaupun tidak semua orang mengetahui ajaran tersebut. Sesuai dengan teori fenomenologi yang melakukan tindakan sesuai dengan pengalaman berdasarkan fenomena yang terjadi. Sosiologi fenomenologis pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh filsuf Edmund Husserl dan Alfred Schultz.
Penelitian ini mencoba mengungkapkan pandangan hidup orang Kejawen di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal mengenai ajaran- ajaran Kejawen dan untuk mengetahui bentuk prakti keagamaan yang dilakukan oleh komunitas Maneges Kejawen tersebut. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologi yang lebih memusatkan perhatian pada dimensi makna dan pengetahuan ( penghayat kejawen ). Pendekatan ini juga bertujuan untuk mengetahui tata cara peribadatan mereka dan ciri- ciri kepercayaan Kejawen.
METODOLOGI PENELITIAN
1. Dasar Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Sehingga akan menghasilkan data- data deskriptif berupa kata- kata tertulis atau lisan dari orang- orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut Bogdan dan Taylor, metode kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata- kata yang tertulis tertulis atau lisan dari orang- orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong 2002:4). Menurut Nasution (2003:5), pendekatan kualitatif adalah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berorientasi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Penelitian ini digunakan untuk mengetahui keberadaan Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai penghayat Kejawen di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal. Pemilihan lokasi penelitian ini dikarenakan di Kecamatan Slawi terdapat Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang maha Esa yang sampai saat ini masih aktif sebagai Penghayat Kejawen.
3. Fokus Penelitian
Fokus penelitian adalah bagaimana pandangan- pandangan penghayat Kejawen yang terkumpul dalam Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kecamatan Slawi mengenai ajaran- ajaran Kejawen itu sendiri serta bagaimana bentuk praktek- praktek keagamaan yang dilakukan Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai penghayat Kejawen di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal.
4. Sumber Data
Menurut Lofland (Moleong 2004:157), sumber data utama yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah kata- kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah :
a. Subyek Penelitian
Subyek penelitian adalah individu atau kelompok individu yang akan diteliti. Subyek penelitian dapat dikatakan orang atau sekelompok orang yang ingin diteliti. Subyek penelitian dapat berupa orang perorangan, sekelompok orang, lembaga sosial, ataupun kehidupan bersama didalam masyarakat. Subyek dalam penelitian ini adalah anggota Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai penghayat Kejawen di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal.
b. Informan
Informan adalah individu atau orang- orang tertentu yang diwawancarai untuk keperluan informasi. Inforaman yaitu orang yang memberikan informasi atau data yang diperlukan peneliti. Informasi ini dipilih dari beberapa orang yang betul- betul dapat dipercaya dan mengetahui obyek yang diteliti. Informan dalam penelitian ini adalah anggota Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai penghayat Kejawen di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal.
c. Sumber buku merupakan sumber tertulis yaitu dari buku- buku dan dokumen- dokumen lainnya yang dapat memberikan informasi dalam penelitian.
5. Metode Pegumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:
a. Metode Wawancara
Menurut Moleong (2004:186) wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Wawancara dalam bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan- pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu (Mulyana, 2002:180). Dalam tekhnik wawancara ini terjadi interaksi langsung antara peneliti dengan informan. Tekhnik ini juga dilakukan secara terbuka, akrab, dan kekeluargaan. Sehingga interaksi yang terjadi antara peneliti dan informan tidak terkesan kaku dan informan yang diperoleh akurat, tidak mengada-ada. Wawancara dilakukan untuk mengetahui bagaimana pandangan- pandangan penghayat mengenai ajaran Kejawen dan apa saja bentuk praktek- praktek keagamaan yang dilakukan oleh para penghayat yang tergabung dalam Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
b. Metode Observasi (Pengamatan)
Observasi adalah pengamatan atau pencatatan dengan sistematika fenomena- fenomenayang diselidiki. Dalam penelitian ini obyek yang akan diobservasi oleh peneliti yaitu segala hal yang terjadi di lapangan (lokasi penelitian). Hal- hal yang akan diobservasi antara lain:
Pandangan –pandangan Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa mengenai ajaran- ajaran Kejawen serta bagaimana bentuk praktek- praktek keagamaan yang dilakukan.
c. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal- hal atau variabel yang berupa catatan transkip, surat kabar, majalah, notulen rapat, agenda, dan sebagainya (Arikunto 1993:202). Studi dokumentasi dimaksudkan untuk melengkapi data dari wawancara dan observasi yang berupa catatan tertulis dan dapar dipertanggungjawabkan serta menjadi alat bukti yang resmi. Dalam penelitian ini dokumen yang digunakan adalah dokumen resmi yang ada di Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal.
6. Validitas Data
Dalam sebuah penelitian sebelumnya data dianalisis terlebih dahulu harus mengalami pemeriksaan. Tekhnik pengujian dalam menentukan validitas data adalah menggunakan tekhnik triangulasi. Triangulasi merupakan tekhnik pemeriksaan, keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data itu ( Moleong 2004:330). Dalam hal ini akan diperoleh dengan jalan membandingkan apa yang dikatakan secara pribadi dengan hasil wawancara dan isi suatu dokumen yang berkaitan tentang keberadaan Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal.
7. Analisis Data
Dalam penelitian, analisis data mempunyai kedudukan yang sangat penting. Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang terpenting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang diceritakan pada orang lain ( Bogdab dan Biklen dalam Moleong 2004:248). Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif yaitu dengan analisis data non statiskik atau analisi induktif.
Menurut Seiddel (Moleong 2004:248) analisis data kulaitatif prosesnya berjalan sebagai berikut
1. Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.
2. Mengumpulkan, memilah- milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya.
3. Berpikir dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari, dan menemukan pola dan hubungan- hubungan dan membuat temuan- temuan umum.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta
Ø Damami, Muhammad. 2002. Seri Kejawen 2002. Makna Agama dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: LESFI
Ø Darori, Amin. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media
Ø Koentjoroningrat. 1974. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat
Ø Koentjoroningrat. 1990. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Ø Koentjoroningrat. 2002. Pengantar Antropologi II: Pokok Etnografi. Jakarta: Rajawali Perss
Ø Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosada
Ø Satoto, Heru. 2005. Simbolisme dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Teraju
Ø Sujatmo. 1992. Reorientasi dn Revitalisasi Pandangan Hidup Orang Jawa. Semarang: Dahara Prize
PEDOMAN OBSERVASI
Penelitian “Keberadaan Komunitas Maneges Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai Penganut Kejawen di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal” menggunakan metode penelitian Kualitatif. Oleh karena itu untuk memperoleh kelengkapan dan ketelitian data diperlukan pedoman observasi.
Aspek- aspek observasi dalam penelitian ini adalah :
1. Gambaran umum Desa Trayeman.
2. Gambaran umum Komunitas Maneges Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai Penganut Kejawen.
3. Kondisi kehidupan keagamaan anggota Komunitas Maneges Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai Penganut Kejawen.
4. Kondisi tingkat usia, pendidikan, latar belakang anggota Komunitas Maneges Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai Penganut Kejawen.
5. Kondisi kehidupan sosial ekonomi anggota Komunitas Maneges Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai Penganut Kejawen.
PANDUAN WAWANCARA
Pedoman wawancara dalam penelitian “Keberadaan Komunitas Maneges Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai Penganut Kejawen di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal” adalah sebagai berikut :
A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di Kecamatan Slawi (Tegal).
B. Identitas Informan
Nama :
Jenis Kelamin :
Umur :
Pekerjaan :
Alamat :
C. Daftar Pertanyaan
Pernasalahan :
1. Bagaimana pandangan Komunitas Maneges Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai Penganut Kejawen di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal tentang ajaran- ajaran Kejawen?
Indikator :
a. Keberadaan Himpunan Komunitas Maneges Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai Penganut Kejawen Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal.
b. Keanggotaan Himpunan Komunitas Maneges Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai Penganut Kejawen Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal.
c. Pandangan angggota Himpunan Komunitas Maneges Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai Penganut Kejawen Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal tentang ajaran- ajaran Kejawen.
Pertanyaan :
a. Keberadaan Himpunan Komunitas Maneges Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai Penganut Kejawen di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal.
1. Kapan berdirinya Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kecamatan Slawi?
2. Mengapa Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kecamatan Slawi didirikan?
3. Apa tujuan didirikannya Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kecamatan Slawi?
4. Apa visi Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kecamatan Slawi?
5. Apa misi Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kecamatan Slawi?
b. Keanggotaan Himpunan Komunitas Maneges Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai Penganut Kejawen di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal.
1. Ada berapa jumlah anggota Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kecamatan Slawi?
2. Dari mana saja asal anggota Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kecamatan Slawi?
3. Bagaimana struktur keanggotaan Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kecamatan Slawi?
4. Pergantian struktur struktur keanggotaan Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kecamatan Slawi berapa bulan/tahun sekali?
5. Apa saja pekerjaan anggota Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kecamatan Slawi?
c. Pandangan angggota Himpunan Komunitas Maneges Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai Penganut Kejawen di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal tentang ajaran- ajaran Kejawen.
Pertanyaan:
1. Apa alasan Anda mengikuti ajarn Kejawen?
2. Apa yang Anda ketahui mengenai ajaran Kejawen?
3. Bagaimana persepsi Anda mengenai ajaran Kejawen itu sendiri?
4. Mengapa aliran kebatinan Kejawen masih tetap dipercayai?
5. Apa alasan melestarikan aliran Kejawen?
6. Apakah sumber/kitab suci bagi penghayat Kejawen
7. Bagaimanakah ajaran Kejawen yang ada di Himpunan Komunitas Maneges Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai Penganut Kejawen di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal?
8. Apakah ada perbedaan antara ajaran yang ada di Komunitas Maneges Kejawen dengan yang ajaran Kejawen yang lain?
2. Bagaimana bentuk- bentuk praktek keagamaan yang dilakukan oleh Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai Penganut Kejawen di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal sebagia penganut Kejawen?
Pertanyaan :
1. Apa saja kegiatan yang dilakukan oleh Himpunan Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai Penganut Kejawen di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal?
2. Bagaimana bentuk kegiatan atau ritual keagamaannya?
3. Kapan dilakukannya kegiatan keagamaan tersebut?
4. Dimana biasanya dilakukan kegiatan ritual keagamaan tersebut?
5. Apa tujuan dilakukannya kegiatan ritual keagamaan tersebut?
6. Apakah ada manfaatnya?jika ada jelaskan!
7. Siapa saja yang terlibat dalam kegiatan ritual keagamaan tersebut?
0 komentar:
Posting Komentar